ASAS LEGALITAS DAN PERKEMBANGANYA DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA.
Pada zaman yunani kuno, konsep keadlian dan aturan hukum (nomos) sudah mulai berkembang, tetapi asas legalitas belum diakui secara eksplisit. Filosof seperti Plato dan Aristoteles membahas konsep keadilan dan keharusan untuk mematuhi hukum, tetapi aturan ini lebih bersifat normative dari pada aturan legal yang ketat. Istilah “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege “berasal dari Von Feuebach, seorang sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Kemudian Asas legalitas dituangkan dalam semacam UUD pada masa pecahnya revolusi perancis yang disebut “Declaration des droits de L’homme et du citoyen” (1789) pasal 8 yang berbunyi:
“Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu aturan yang ditetapkan dalam undang undang dan diundangkan secara sah.”
Asas yang tercantum dalam Pasal 8 “Declaration des droits de L’homme et du citoyen” tersebut dimasukan ke dalam pasal 4 code penal perancis dibawah pemerintahan Napoleon (1801) dengan kolononisasi kemudian berlaku di Belanda dan terakhir ke Indoensia. Pasal 1 Wetbooek Van Strafrecht Belanda, berdasarkan konkordansi masuk pula ke dalam Pasal 1 KUHP yang berlaku di Indonesia:
- Tiada suatu perbuatan dapat di pidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan
- Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa.
Asas legalitas bertujuan untuk memberikan Kepastian Hukum, sehingga tidak adanya pelanggatan atas Prinsip Keadilan dan Perlindungan Hak Asasi yang dilakukan oleh Negara terhadap warga negaranya, Asas legalitas berkaitan erat dengan perlindungan hak asasi manusia. Setiap individu berhak mengetahui perbuatan apa yang dianggap salah oleh hukum, sehingga individu tersebut dapat mengarahkan perilakunya sesuai dengan hukum yang berlaku.
Sekalipun asas legalitas adalah merupakan salah satu pilar utama bagi setiap negara yang menghargai hukum sebagai supremasi, akan tetapi terhadap kejahatan-kejahatan yang dinamakan seperti criminal extra ordinary sering digunakan oleh penguasa untuk memanfaatkan hukum pidana secara sewenang-wenang, di antaranya dengan memanfaatkan implementasi asas retroaktif untuk memenuhi kebutuhan politis. Pada hal, makna yang terkandung dalam asas legalitas yang universalitas sifatnya adalah bahwa (1) tiada pidana tanpa peraturan perundang-undangan terlebih dahulu, (2) larangan adanya analogi hukum, dan (3) larangan berlaku surut suatu undang-undang atau yang dikenal sebagai larangan berlakunya asas retroaktif.
Bahwa asas legalitas di dalam UU No. 1 tahun 2023 tentang KUHP secara prinsip tidak ada perbedaan yang mendasar sebagaimana yang diatur dalak ketentuan UU No. 1 tahun 1946 tentang KUHPidana, namun secara tegas prinsip larangan menggunakan analogi dalam memberikan penafsiran hukum.
- Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”
- Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi.
Bahwa dalam Pasal 1 ayat (1) UU No 1 tahun 1946 tentang KUHP menganut prinsip asas legalitas Hukum pidana tidak boleh bersumber pada hukum adat, atau hukum tidak tertulis lainnya. Namun dengan lahirnya UU kehakiman dalam pasal 25 ayat (1) menerangkan hakim tidak dilarang menggunakan hukum yang tidak tertulis sebagai alasan dan dasar putusannya. Sebagai contoh, dasar-dasar pembenar (rechtvardiging gronden) dalam menentukan pertanggungjawaban pidana yang sudah diterima dalam praktek dewasa ini dikembangkan melalui hukum tidak tertulis oleh hakim di pengadilan. Termasuk “tidak melawan hukum secara materiel (materiele wederrechtelijkheid) disebut juga sebagai dasar pembenar di luar undang-undang. Semangat lahirnya UU No. 1 tahun 2023 tentang KUHP dalam perkembangan asas legalitas secara tegas menerima perkembangan pemikiran bahwa asas itu ”tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan” asalkan ”sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”, hal ini di atur dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 1 tahun 2023 tentang KUHP :
- Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (l) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebuttidak diatur dalam Undang-Undang ini.
- Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.
- Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.