KEWENANGAN MENGADILI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Peradilan Tata Usaha Negara salah satu pelaksana kekuasaaan di bawah Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Peradilan Tata Usaha Negara berwenang menerima, memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut UU Peratun).
Tujuan dari dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara Adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentram, tertib, serta menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum, dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan warga masyarakat dan/atau badan hukum perdata.
Bahwa sesuai ketentuan Pasal 1 angka 9 UU PERATUN yang berbunyi:
“Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku bersifat konkret, Individual, dan Final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”
Kemudian Pasal 1 angka 10 UU PERATUN yang berbunyi:
“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan perundang undangan”.
Apabila merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 9 UU PERATUN di atas maka unsur-unsur objek sengketa TUN, yaitu:
- Penepatan tertulis;
- Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN;
- Berisi tindakan hukum TUN;
- Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Konkret, individual, dan final;
- Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Kesemuanya unsur tersebut harus terpenuhi, sehingga apabila terdapat salah satu yang tidak ada maka tidak dapat disebut sebagai objek sengketa TUN. Ketentuan Pasal 1 angka 9 UU PERATUN menjabarkan secara spesifik yang menjadi objek sengketa Adalah “Penetapan Tertulis”. Namun dalam perkembangan hukum administrasi muncul Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU AP), Pasal 87 UU AP memberikan perluasan objek sengketa TUN yang sebelumnya hanya penetapan tertulis menjadi Keputusan dan/atau Tindakan.
Mengutip Pasal 87 UU AP harus dimaknai juga sebagai Keputusan TUN, yaitu:
- Penetapan tertulis yang mencakup tindakan faktual;
- Keputusan Badan dan/atau Pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
- Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB;
- Bersifat final dalam arti lebih luas;
- Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
- Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
Oleh karena ada perluasan yang dilahirkan melalui UU AP, maka yang menjadi objek sengketa TUN Adalah Keputusan dan/atau Tindakan. Berikutnya perlu memberikan penjelasan yang mendalam mengenai siapa yang berhak mengajukan sengketa TUN? Secara singkat setiap orang atau badan hukum perdata, atau jika merujuk pada nomenklatur yang digunakan di dalam UU AP maka yang berhak mengajukan Adalah warga Masyarakat.
Namun, tidak serta merta semua orang dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau tindakan pejabat TUN. Peradilan TUN memberikan batasan yang jelas mengenai kepentingan untuk melakukan gugatan di TUN, yaitu diatur dalam ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU PERATUN, yang berbunyi:
“Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan gati rugi dan/atau rehabilitasi”.
Kemudian di dalam penjelasan yang dimaksud dengan “yang merasa kepentingannya dirugikan” dijelaskan sebagai berikut :
“Selanjutnya hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan dan karenanya yang bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat Keputusan Tata Usaha Negara”.
Kepentingan warga Masyarakat dalam mengajukan gugatan PTUN ini haruslah bersifat nyata dan terkait langsung dengan objek sengketa, yaitu Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang menjadi dasar gugatan.
Oleh karena ada Batasan terhadap siapa yang dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau tindakan pemerintah, maka dapat ditarik simpulan hal tersebut merupakan salah satu cerminan kontrol terhadap Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melakukan suatu tindakan pemerintahan untuk tidak berlaku sewenang-wenang atau melampaui kewenangannya.
Sehingga keputusan dan/atau tindakan pemerintahan tersebut tidak menimbulkan kerugian terhadap warga Masyarakat. Beberapa contoh Keputusan dan/atau tindakan pemerintah yang sering menjadi objek sengketa di TUN adalah di bidang perizinan, penetapan hak kepemilikan atas tanah, penetapan penentuan baku mutu lingkungan, dan lain sebagainya.
Apabila klasifikasi objek dan subjeknya terpenuhi berikut dengan kepentingannya maka selanjutnya dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Perlu juga memperhatikan tidak semua objek KTUN dapat diajukan sengketa di PTUN karena terdapat pembatasan yang diatur dalam Pasal 2 UU PERATUN sebagai berikut:
- Keputusan TUN hukum perdata
- Keputusan TUN yang bersifat umum
- Keputusan TUN yang masih memerlukan persetujuan
- Keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peratuaran peruandang-undangan lain yang bersifat pidana;
- Keputusan TUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
- Keputusan TUN mengenai tata usaha TNI;
- Keputusan KPU, baik dipusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum
Selain dari pembatasan tersebut warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan serta Pengadilan memiliki kewenangan untuk menerima, memeriksa dan memutus sengketa tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 50 UU PERATUN yang berbunyi :
“Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama”
Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan
Pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Jo. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1985 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) yang berbunyi:
“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”;
Berdasarkan Sema 3 tahun 2015 tentang pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar MA tahun 2015 sebagai pedoman pelaksana tugas bagi pengadilan, dalam rumusan pleno kamar tata usaha negara menyatan ;
Tenggat waktu 90 (sembilan puluh hari untuk mengajukan gugatan bagi pihak ketiga yang tidak dituju oleh keputusan tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang semula dihitung sejak yang bersangkutan merasa kepentigannya dirugikan oleh keputusan tata usaha negara dan sudah mengetahui adanya keputusan tata usaha negara tersebut diubah menjadi dihitung sejak yang bersangkutan pertama kali mengetahui keputusan tata usaha negara yang merugikan kepentingannya.
Pasal 48A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan “Dalam hal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan menentukan bahwa sengketa tata usaha negara harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administratif, maka sengketa tersebut tidak dapat diajukan ke pengadilan sebelum upaya administratif tersebut ditempuh.” Maka dengan demikian tenggang waktu baru berlaku setelah sejak adanya keputusan atas upaya administratif, hal ini sebagaimana telah diatur dalam ketentuan pasal 5 PERMA No. 6 tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administratif Pemerintahan setelah menempuh upaya Administratif yang menyatakan :
- Tenggang waktu pengajuan gugatan di Pengadilan dihitung 90 (sembilan puluh) hari sejak keputusan atas upaya administratif diterima oleh Warga Masyarakat atau diumumkan oleh Badan dan/ atau Pejabat Administrasi pemerintahan yang menangani penyelesaian upaya administratif.
- Pihak ketiga yang tidak dituju oleh keputusan hasil tindak lanjut upaya administratif tenggang waktu pengajuan gugatan di pengadilan dihitung sejak yang bersangkutan pertama kali mengetahui keputusan tata usaha negara yang merugikan kepentingannya
Artikel Sebelumnya
Belum ada artikel
Artikel Terbaru
Belum ada artikel