PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA YANG TIDAK MENDAPATKAN HAK PESANGON SETELAH BERAKHIRNYA PERJANJIAN KERJA
Perlindungan hukum terhadap hak pekerja setelah berakhirnya perjanjian kerja sangatlah penting bagi kesejahteraan pekerja, dalam hal perjanjian kerja berakhir sesuai dengan ketentuan perundang undangan, maka pekerja dapat mendapatkan haknya (pesangon) sebagaimana diatur dalam Pasal 156 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Jo UU No. 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (dapat dilihat tulisan tentang Hak pekerja karena berakhirnya perjanjian kerja https://zrlawfirm.org/hak-pekerja-karena-berakhirnya-perjanjian-kerja/). Namun dalam fakta di lapangan, terkadang pihak perusahaan enggan memberikan hak pekerja sesuai ketentuan undang undang yang berlaku dengan bermacam alasan, hal yang demikian yang menyebabkan berakhirnya perjanjian kerja sering kali konflik kepentingan hukum antara pekerja dan pengusaha.
Bahwa di dalam hukum ketenagakerjaan untuk melindungi kepentingan pekerja di atur berapa sanksi berupa menghukum pengusaha sesuai putusan pengadilan industrial untuk membayar hak pesangon pekerja sesuai ketentuan Pasal 156 UU Ketenagakerjaan, sampai dengan sanksi ancaman pidana terhadap kepada pengusaha yang melanggar ketentuan pasal 185 ayat (1) UU ketenagakerjaan, tentunya konflik yang demikian bukan solusi yang tepat bagi Perusahaan menjamin ekosistem yang baik bagi dunia usaha. Maka dalam hal berakhirnya perjanjian kerja pengusaha dan pekerja perlu duduk bersama sama dari jauh jauh hari menyelesaikan hal ini dengan musyawarah untuk mengakomodir kepentingan pekerja dan pengusaha sehingga tidak terjadi konflik di pengadilan yang membutuhkan biaya yang tidak mudah untuk para pihak.
Sengketa Pengadilan Hubungan Industrial
Bahwa di dalam ketentuan Pasal 2 Undang Undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dijelaskan jenis perselisihan Hubungan Industrial meliputi :
- Perselisihan hak;
- Perselisihan kepentingan;
- Perselisihan pemutusan hubungan kerja;
- Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.”
Pekerja yang haknya tidak diberikan oleh pengusaha ketika berakhirnya perjanjian kerja termasuk dalam perselisihan hak, sebagaimana yang diatur Pasal 1 angka 2 Undang Undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menerangkan terkait Perselisihan Hak sebagai berikut :
“Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.”
Dalam hal terjadi perselihan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha diwajibkan untuk melakukan Perundingan bipartit yaitu perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 2 UU No. 2 tahun 2004 tentang penyelesaian Perselisihan hubungan industrial yaitu :
- Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
- Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
- Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Kemudian dalam hal bipartit gagal maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Selanjutnya Dinas ketenagakerjaan setempat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian mediasi atau melalui konsiliasi atau melalui arbitrase untuk serikat buruh dengan perusahaan.
Hemat penulis jika terjadi kebuntuhan dalam upaya bipatrit perlunya antara Pengusaha dan Pekerja dalam menyelesaikan konflik dan kepentingan hukum melalui mekanisme mediasi di mediator Dinas ketenagakerjaan, dan untuk perselisihan antara serikat buruh/serikat pekerja dan perusahaan baiknya dapat penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase untuk menghemat biaya perkara dan perkara yang berkepanjangan, apa itu konsiliasi atau arbitrase?
Pasal 1 angka 13 Undang Undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menjelaskan bahwa:
“Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atauperselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.”
Pasal 1 angka 15 Undang Undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menerangkan bahwa:
“Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaiansuatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.”
Bahwa Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
Bahwa khusus sengketa perselisihan hubungan industrial antara pekerja dan pengusaha, sebagaimana penulis sarankan, pekerja dan pengusaha dapat menyelesaikan Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/ Kota, hal ini sering disebut dengan upaya mediasi tripartit. Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi tripartit, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Namun mediator dalam menilai antara para pihak tidak mempunyai kesepakatan bersama, maka mediator dinas ketenagakerjaan yang mempunyai kewenangan dalam menyelesaikan sengketa hubungan industrial dengan mengeluarkan anjuran tertulis kepada para pihak (Pekerja dan Pengusaha) untuk melaksanakan isi anjuran tertulis, jika para pihak dapat menerima isi anjuran tertulis, para pihak dapat membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Namun dalam hal ini para pihak tidak menerima anjuran tertulis dalam agenda tripartit penyelesaian perselisihan hubungan industrial, salah satu para pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial setempat. Dalam prakteknya anjuran tertulis dari Dinas ketenagakerjaan tersebut di gunakan sebagai dasar normatif untuk mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial setempat.
Aspek pidana dalam UU Ketenagakerjaan.
Bahwa hukum pidana merupakan pilihan terakhir untuk menyelesaikan sengketa penyelesaian perselisihan hubungan industrial, hukum pidana merupakan ultimum remedium (obat terakhir atau Upaya terakhir) yang artinya hukum pidana hanya digunakan dalam Upaya setelah Upaya untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial tidak berhasil dapat menggunakan penyelesaian hukum pidana.
Bahwa Pasal 185 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Undang-Undang nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang menerangkan bahwa:
(1) “Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).”
Dalam Pasal diatas disebutkan diantaranya ada Pasal 156 ayat (1) yang mana kewajiban perusahaan untuk membayar hak pekerja berupa hak pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak ketika berakhirnya perjanjian kerja dan sudah diatur sangat jelas dalam perundang undangan. Selain itu dalam Pasal 185 ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Undang-Undang nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang tersebut juga dijelaskan konsekuensi hukum yang diterima pihak perusahaan jika tidak menjalankan kewajibannya kepada pekerja. Namun dalam implementasinya sering kali tidak sesuai karena pihak pekerja dan perusahaan memiliki pemahaman yang berbeda mengenai ketentuan hukum yang ada,yang dapat menyebabkan konflik dan sengketa.
PENULIS : RENZY AYU PUTRI SUTADJI, S.H
Artikel Sebelumnya
Belum ada artikel
Artikel Terbaru
Belum ada artikel