PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA HOTEL SECARA ELEKTRONIK

Perkembangan teknologi informasi telah membawa perubahan besar dalam dunia bisnis, salah satunya adalah sektor jasa perhotelan. Kehadiran aplikasi pemesanan daring (online travel agency/OTA) seperti Traveloka, Agoda, Tiket.com, dan lainnya mempermudah konsumen dalam melakukan perjanjian sewa menyewa hotel dengan cepat dan praktis. Dengan adanya online travel agency/OTA Konsumen dapat mengetahui informasi mengenai fasilitas, lokasi, hingga harga kamar secara langsung sebelum melakukan pemesanan.

Dalam perkembanganya di lapangan terdapat persoalan antara konsumen selaku penyewa hotel dan pelaku usaha selaku penyedia hotel, hal ini dikarenakan terdapat perbedaan penafsiran atas isi perjanjian sewa menyewa secara elektronik, seharusnya persoalan yang demikian jangan sampai menimbulkan kerugian bagi penyewa hotel. Kerugian biasanya terjadi biaya tambahan (hidden cost) ketika melakukan check-in di hotel, padahal biaya tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian sewa menyewa hotel secara elektronik, lebih buruknya adanya konsumen yang diusir sepihak oleh pemilik hotel.

Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen perlu menekankan pentingnya perlindungan hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur atas isi perjanjian yang tersedia di layanan online travel agency yang nantinya mengikat sebagai suatu perjanjian yang sah menurut hukum.

Bahwa suatu perjanjian yang merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu :

  1. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang ;
  2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu ;
  3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu;

Penyewa hotel sepanjang telah melakukan pembayaran sesuai yang tercantum dalam perjanjian online travel agency, maka berhak mendapatkan dan menikmati layanan penginapan hotel sebagaimana di maksud dalam isi perjanjian elektronik di online travel agency, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1548 KUHPerdata menerangkan :

suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu barang selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu harga yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.

Perjanjian elektronik yang dilakukan melalui website/aplikasi sebagai tanda persetujuan digital yang sah menurut hukum, hal sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang menyatakan:

“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Konsumen/Penyewa kamar hotel pada prinsipnya telah melakukan tahapan tahapan sebelum akhirnya melakukan persetujuan secara digital, berikut tahapan proses yang dilakukan dalam melakukan persetujuan secara digital :

  • Konsumen memilih kamar, fasilitas, dan harga di aplikasi.
  • Konsumen menyetujui syarat dan ketentuan lalu melakukan pembayaran.
  • Konsumen mendapatkan bukti pemesanan (voucher elektronik).

Persetujuan secara digital dapat mengikat sebagai suatu perjanjian elektronik, perjanjian elektronik di online travel agency sah sepanjang tidak bertentangan dengan syarat dan sah perjanjian yang diatur Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian yang demikian berlaku sebagai Undang Undang,  sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata.

Setelah Perjanjian Sewa Menyewa elektronik Hotel melalui Online Travel Agent (OTA) seperti Traveloka, Tiket.com, Agoda, dan Booking.com berlaku sebagai Undang Undang. Secara hukum, perjanjian sewa kamar hotel di atas merupakan perjanjian elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 17 UU ITE, yaitu :

Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik”. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU ITE, ditentukan bahwa “transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak.

Kontrak elektronik tersebut dianggap sah menurut hukum sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur dalam ketentuan Pasal 46 ayat (2) PP No. 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaran system dan Transaksi elektronik Jo Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 46 ayat (2) PP No. 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaran system dan Transaksi elektronik mengatur bahwa kontrak elektronik dianggap sah apabila:

  1. Terdapat kesepakatan para pihak;
  2. Dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau yang berwenang mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. Terdapat hal tertentu; dan
  4. Objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusialaan, dan ketertiban umum.

Selanjutnya Pasal 47 ayat (3) PP No. 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaran system dan Transaksi elektronik menerangkan kontrak elektronik paling sedikit memuat:

  1. Data identitas para pihak;
  2. Objek dan spesifikasi;
  3. Persyaratan transaksi elektronik;
  4. Harga dan biaya;
  5. Prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak;
  6. Ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan
  7. Pilihan hukum penyelesaian transaksi elektronik.

Apabila konsumen telah melakukan tahapan perjajian sewa menyewa sesuai dengan tahapan yang benar dan beritikad baik sesuai ketentuan perundang undangan, namun pihak penyedia hotel tidak memberikan kamar atau fasilitas sesuai isi perjanjian elektronik, maka tindakan dari penyedia hotel telah terkwalifikasi sebagai perbuatan wanprestasi.

Menurut Subekti dikatakan wanprestasi apabila si berhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi”, dimana wanprestasi seorang dapat berupa empat macam:

  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya ;
  2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan ;
  3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat ;
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya;

Selain melakukan perbuatan wanprestasi, tindakan dari penyedia layanan hotel telah melanggar prinsip prinsip UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yaitu ketentuan :

  • Pasal 7 huruf (b) UUPK yang menyatakan bahwa, “pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.”
  • Pasal 8 ayat (1) huruf f UUPK menyatakan bahwa, “pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.”
  • Pasal 10 huruf (a) UUPK, yaitu “pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa.”
  • Pasal 9 UU ITE yang menyatakan bahwa, “pelaku usaha yang menawarkan produk melalui system elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.”

Maka konsumen yang dirugikan dapat meminta ganti rugi (kompensasi) sesuai dengan ketentuan Pasal 7 huruf (g) UUPK :

bahwa pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Namun persoalan yang demikian tentunya tidak menjadi solusi jika hanya berharap kompensasi dengan mengajukan gugatan melalui pengadilan Negeri maupun laporan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), mengingat waktu dan biaya perkara cukup mahal dalam menyelesaikan sengketa tersebut.

Solusi lain sebagai bentuk pencegahan terhadap yang demikian pemerintah setempat ataupun Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau Dinas Pariwisata Daerah secara berkala melakukan pengawasan terhadap hotel-hotel selaku penyedia layanan perhotelan, jika terdapat perhotelan yang melakukan pelanggaran, maka pemerintah dapat memberikan peringatan dan jika diperlukan mendapatkan sanksi administrasi berupa pencabutan izin. Tetapi apabila terdapat pengusiran terhadap tamu hotel dengan cara mengancam dengan kekerasan atau tuduhan fitnah, maka perbuatan tersebut termasuk kwalifikasi sebagai perbuatan dugaan tindak pidana, sehingga perbuatan tersebut dapat di laporkan pidana kepada pihak kepolisian setempat. Disisi lain pihak hotel tentunya dapat melakukan penindakan terhadap tamu hotel yang melawan hukum dengan cara melaporkan atau berkoordinasi kepada pihak yang berwajib untuk melakukan penertiban, namun tidak dibenarkan menelantarkan tamu hotel secara sepihak.

PENULIS : ERIK DARMAWAN, S.H

Artikel Sebelumnya