PRINSIP EQUALITY BEFORE THE LAW DALAM PEMBERIAN ABOLISI ATAU AMNESTI TERHADAP TERDAKWA/TERPIDANA KORUPSI.
Sistem hukum di Indonesia yang menganut prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law), dimana dalam aspek hukum yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan (termasuk hukum pidana) memiliki fungsi untuk mengatur cara warga negara menggunakan hak-hak konstitusional secara tertib serta tidak melanggar prinsip hak orang lain. Penjaminan hak-hak konstitusional ini telah diatur secara jelas dan rinci dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan di bawahya.
Pada aspek hukum pidana, sebagaimana yang kita ketahui fungsi hukum pidana dan sanksi pidana adalah mendorong serta menjamin ditaatinya norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dimana segala aturan tersebut apabila dilanggar maka akan menimbulkan pelanggaran hukum serta memiliki konsekuensi sanksi pidana.
Bahwa implementasi nilai-nilai equality before the law secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi:
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Kemudian dapat ditemukan juga di dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan:
“Pengadilan mengadili menurut hukum denan tidak membeda-bedakan orang”.
Idealnya pelaksanaan prinsip tersebut harus dapat diterapkan secara konsisten dalam semua aspek penegakan hukum pidana nasional. Gambarannya adalah apabila penegak hukum tidak dapat memberikan kepastian hukum dalam upaya penegakan hukum, atau lebih keras diartikan masih ada tindakan “hukum lebih tajam ke bawah, tumpul ke atas” maka simpulan awal dapat dikatakan sinyal ketidakberhasilan perwujudan prinsip equality before the law.
Fenomena yang muncul masyarakat dibuat resah dan merasa tidak terjaminnya pelaksanaan prinsip-prinsip penegakan hukum terutama di bidang tindak pidana korupsi. Mengapa demikian? Karena melalui media massa baik cetak maupun elektronik yang dapat kita pantau dan amati bersama, telah dipertontonkan penegakan hukum yang masih tebang pilih.
Mengutip pendapat seorang sosiolog Edwin Sutherland (1993) yang pertama kali mencetuskan istilah “white collar crime” untuk memberikan label terhadap tindak pidana korupsi, ia memberikan pendapat bahwa tindak pidana tersebut dilakukan oleh individu dengan status sosial tinggi dalam sebuah jabatan yang dimiliki. Tindak pidana korupsi ini memang tidak berkaitan dengan kekerasan fisik, namun karena memiliki dampak yang sistemik, serius, dan merugikan negara secara luas maka ia digolongkan dalam tindak pidana kejahatan luar biasa (extraordinary crime).
Beberapa waktu lalu secara mengejutkan Presiden Prabowo Subianto memberikan pernyataan hendak memberikan abolisi dan/atau amnesti kepada salah seorang Terdakwa yang telah diputus bersalah oleh salah satu pengadilan tindak pidana korupsi di Jakarta. Hal ini jelas memunculkan anomali penegakan prinsip hukum terutama dalam sistem peradilan pidana (dalam penegakan tindak pidana korupsi) bisa saja mengandung masalah atau cacat struktural. Pemberian abolisi dan/atau amnesti ini bisa jadi menjadi preseden buruk ketidakberhasilan menerapkan sistem peradilan pidana yang sesuai dengan tujuan pemberiannya.
Kewenangan Presiden dalam memberikan abolisi dan amnesti.
Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi:
“Presiden memberi grasi, dan rehabilitasi dengan memperhatikan Mahkamah Agung. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Kemudian di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi, mengatur:
“Dengan pemberian amnesti semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang termaksud dalam Pasal 1 dan 2 dihapuskan. Dengan pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang yang termaksud dalam Pasal 1 dan 2 ditiadakan”.
Menurut berbagai sumber amnesti adalah pemberian pengampunan atau penghapusan akibat hukum pidana terhadap individu atau kelompok yang melakukan tindak pidana. Sedangkan abolisi adalah penghentian proses penuntutan pidana terhadap individu atau kelompok yang diduga melakukan tindak pidana. Sehingga dapat disimpulkan pemberian abolisi bukan suatu pengampunan kepada Terpidana/Terdakwa. Tetapi merupakan sebuah upaya untuk menghentikan proses pemeriksaan dan penuntutan kepada seorang Terdakwa. Upaya tersebut dilakukan karena pemeriksaan dan penuntutan tersebut dianggap dapat mengganggu stabilitas pemerintahan.
Konsekuensi yang ditimbulkan dengan diberikannya amnesti adalah semua akibat hukum pidana terhadap orang yang telah melakukan suatu tindak pidana dihapuskan, sedangkan diberikannya abolisi yang hanya dapat dilakukan sebelum seseorang menerima putusan pengadilan akan berakibat segala proses hukum yang sedang berjalan akan berhenti.
Beberapa tujuan diberikannya abolisi adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi individu yang terlibat, memberikan keadilan dari sisi hukuman yang diberikan tidak lagi relevan, atau dapat juga sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi nasional atau sosial terutama jika berkaitan dengan permasalahan pemberontakan atau konflik sosial yang dapat membawa akibat luas terhadap kepentingan negara.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, pemberian abolisi oleh Presiden tidak dapat serta merta dikeluarkan tanpa adanya pertimbangan dari legislatif. Aturan ini dibuat sebagai wujud adanya check and balances terhadap penegakan hukum pidana dengan memperhatikan tujuan dari pemberian sanksi pidana itu sendiri. Sehingga sudah seharusnya Presiden berhati hati dalam memberikan hak preogratif tersebut dengan mempertimbangkan saran yang diberikan oleh legislatif.
Sifat kehati-hatian tersebut selayaknya terus diberlakukan dalam setiap kebijakan penegakan hukum terutama konteks permasalahan ini, agar pemberian abolisi dan amnesti justru keluar dari tujuan awalnya dilekatkan hak tersebut kepada Presiden. Maka seharusnya pemberian abolisi diprioritaskan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan upaya mewujudkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, penjaminan penyelenggaraan pemerintahan negara, pembangunan nasional, penjaminan hak asasi manusia, serta persatuan dan kesatuan bangsa, atau secara garis besar alasan pemberian ini berkaitan dengan kepentingan negara. (merujuk: Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 1998, Keputusan Presiden Nomor 91 Tahun 2000 serta Keputusan Presiden Nomor 115 Tahun 2000 dalam butir menimbang). Terlebih pula dalam Keputusan Presiden Nomor 93 Tahun 2000 disebutkan alasan pemberian adalah memberikan penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Pemberian abolisi dan/atau amnesti kepada pelaku tindak pidana korupsi tentu menimbulkan pertanyaan besar bagi upaya penegakan hukum nasional. Apa korelasi antara pemberian tersebut dengan dengan alasan-alasan yang seharusnya berorientasi pada kepentingan negara? Jangan sampai pemberian tersebut bukannya berorientasi kepentingan negara malah menjauh menjadi bentuk lain kegagalan pemerintah dalam menciptakan penegakan hukum yang equality before the law.
Ketidaktepatan pemberian abolisi dan amnesti seharusnya tidak dibiarkan berlarut-larut dan berulang. Penegakan hukum pidana sejatinya harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai kebenaran, kepastian, dan keadilan hukum. Jika saat ini penindakan tindak pidana korupsi masih terkesan tebang pilih dengan mengedepankan siapa yang tidak dekat dengan kekuasaan dialah yang akan ditangkap, maka persepsi tersebut harus dihentikan dan dicari formula penegakan hukum yang berorientasi pada nilai kepastian serta kesamaan di hadapan hukum.