SELAIN ANAK ANGKAT, ANAK DAN ISTRI YANG TIDAK BERAGAMA ISLAM BERHAK MENDAPATKAN WASIAT WAJIBAH

Wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai kuasa atau aparat Negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Dapat juga dikatakan bahwa wasiat wajibah itu adalah seorang yang meninggal, baik ia wasiat atau pun tidak berwasiat maka ia dianggap wasiat menurut hukum menurut orang tertentu.

Dari perspektif fiqh, Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukkan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’. Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.

Menurut pendapat Habiburrahman, dalam bukunya yang berjudul Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Dalam fikih Islam, wasiat wajibah umumnya lebih didasarkan kepada pemikiran akal, yang di satu sisi dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan kepada orang-orang yang dekat dengan pewaris, tetapi secara syar’i tidak memperoleh bagian dari jalur faraidh. Namun di sisi yang lain, keempat imam mazhab mengharamkannya jika hal itu akan memberikan madharat bagi ahli waris.

Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 209 Kompilasi Hukum Islam selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

“Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.”

Namun wasiat Wajibah dapat diberikan tidak hanya kepada anak angkat sebagaimana diatur dalam Pasal 209 KHI, namun juga dapat diberikan kepada ahli waris yang tidak beragama islam, sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. Putusan : 368 K/Ag/1995 Klasifikasi : Waris No. Klasifikasi : 297.273 Sub Klasifikasi : Wasiat Wajibah Kata Kunci : Pihak-pihak yang dapat menerima wasiat wajibah Anak tiri Perbedaan agama Peraturan Terkait : Kompilasi Hukum Islam (KHI) No. Induk : 1/Yur/Ag/2018.

Bahwa dalam putusan No. 16 K/Ag/2010 tanggal 16 April 2010 Mahkamah Agung RI juga telah memutus bahwa istri yang berbeda agama (non muslim) yang telah menikah dan menemani pewaris selama 18 tahun pernikahan juga berhak mendapatkan harta waris melalui lembaga wasiat wajibah. Dalam putusan tersebut dipertimbangkan sebagai berikut:

Bahwa perkawinan pewaris dengan Pemohon Kasasi sudah cukup lama yaitu 18 tahun, berarti cukup lama pula Pemohon Kasasi mengabdikan diri pada pewaris, karena itu walaupun Pemohon Kasasi non muslim layak dan adil untuk memperoleh hak-haknya selaku isteri untuk mendapat bagian dari harta peninggalan berupa wasiat wajibah serta bagian harta bersama sebagaimana yurisprudensi Mahkamah Agung dan sesuai rasa keadilan

Menimbang, bahwa oleh karena itu putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri dengan pertimbangan sebagai berikut : Bahwa persoalan kedudukan ahli waris non muslim sudah banyak dikaji oleh kalangan ulama diantaranya ulama Yusuf Al Qardhawi, menafsirkan bahwa orang-orang non Islam yang hidup berdampingan dengan damai tidak dapat dikategorikan kafir harbi, demikian halnya Pemohon Kasasi bersama pewaris semasa hidup bergaul secara rukun damai meskipun berbeda keyakinan, karena itu patut dan layak Pemohon Kasasi memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris berupa wasiat wajibah;

Pemberian wasiat wajibah kepada selain anak angkat dan orang tua angkat telah diterapkan oleh Mahkamah Agung secara konsisten sejak tahun 1999 hingga setidaknya tahun 2018, yaitu kepada anak dan istri yang tidak beragama Islam. Dengan telah konsistennya sikap hukum Mahkamah Agung tersebut maka telah menjadi yurisprudensi di Mahkamah Agung.

Mekanisme dan cara memperoleh wasiat.

Pewaris selama masa hidupnya dapat juga memberikan surat wasiat atau testamen (surat otentik) adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya (Pasal 875 KUHPer); Pasal 194 Pasal 1 Kompilasi Hukum Islam, “orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.”

Bila dilihat dari pasal-pasal di atas, surat wasiat di bawah tangan yang dibuat oleh pewaris telah memenuhi unsur dari suatu wasiat, yakni berisi pernyataan apa yang dikehendakinya setelah meninggal dunia, telah cakap hukum, berakal sehat, dan tanpa paksaan.

Selain dari unsur tersebut, surat wasiat (dibawah tangan ataupun surat otentik) memuat dan menggunakan hukum islam sebagai patokan dalam pembagian harta warisnya kepada para ahli waris. pewaris juga secara khusus, dalam wasiatnya telah menunjuk seseorang dan salah satu obyek harta warisnya untuk melaksanakan wasiatnya. Dalam surat wasiat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 196 Kompilasi Hukum Islam menerangkan bahwa, dalam wasiat baik secara tertulis maupun secara lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.

Apabila pewaris meninggal dunia, namun ahli waris yang lain tidak menghendaki menjalankan isi wasiat, maka pewaris anak angkat/ anak dan istri yang tidak beragama Islam, anak angkat berhak mendapatkan wasiat wajibah, istri dan/atau anak tidak beragama islam tidak mendapatkan haknya maka dapat memperolehnya dengan cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama untuk mendapatkan hak wasiat wajibah yang besarnya 1/3.

Artikel Sebelumnya